Jumat, 16 November 2012

AL-QUR’AN, SAINS DAN ILMU PENGETAHUAN


AL-QUR’AN, SAINS DAN ILMU PENGETAHUAn Oleh: Abdul Karim Lubis
(Mhs. Psca Sarjana UIN S Jakarta/Guru PAI SMA Mujahidin Pontianak)

      A. AL-QUR’AN


Al-Qur’an secara ilmu kebahasaan berakar dari kata qaraa yaqrau qur’anan yang bererti “bacan atau yang dibaca”. Secara general Al-Qur’an didefenisikan sebagai sebuah kitab yang berisi himpunan kalam Allah, suatu mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan malikat Jbril, ditulis dalam mushaf yang kemurniannya senantiasa terpelihara, dan membacanya merupakan amal ibadah.

Al- Qur’an adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetuhan, sejauh mana keabsahan ilmu harus diukur standarnya adalah Al-Qur’an. Ia adalah buku induk ilmu pengethuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan[1], semuanya telah terkafer di dalamnya yang mengatur berbagai asfek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah (Hablum minallah); sesama manusia (Hablum minannas); alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebgaianya.(Q.S. Al-an’am: 38). Lebih lanjut Achmad Baiquni mengatakan, “sebenarnya segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an”[2].


Salah satu kemu’jizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama adalah hubungannya dengan sains dan ilmu pengetahuaan, begitu pentingnya sains dan ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an sehingga Allah menurunkan ayat yang pertama kali Q.S Al-‘alaq 96/1-5.

1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Ayat tersebut di atas mengandung perintah membaca, membaca berarti berfikir secara teratur atau sitematis dalam mempelajari firman dan ciptaannya, berfikir dengan menkorelasikan antara ayat qauliah dan kauniah manusia akan mampu menmukan konsep-konsep sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan perintah yang pertama kali dititahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammada SAW. dan umat Islam sebelum perintah-perintah yang lain adalah mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan serta bagaimana cara mendapatkannya. tentunya ilmu pengetahuan diperoleh di awali dengan cara membaca, karena membaca adalah kunci dari ilmu pengetahuan, baik membaca ayat qauliah maupun ayat kauniah, sebab manusia itu lahir tidak mengethui apa-apa, pengetahuan manusia itu diperoleh melalui proses belajar dan melalui pengalaman yang dikumpulkan oleh akal serta indra pendengaran dan penglihatan[3] demi untuk mencapai kejayaan, kebahagian dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih 750[4] ayat rujukan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sementara tidak ada agama atau kebudayaan lain yang menegaskan dengan begitu tegas akan kepentingan ilmu dalam kehidupan manusia. Ini membuktikan bahwa betapa tingginya kedudukan sains dan ilmu pengetauan dalam Al-Qur’an (Islam). Al-Qur’an selalu memerintahkan kepada manusia untuk mendayagunakan potensi akal, pengamatan , pendengaran, semaksimal mungkin[5].

Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang sangat (bahkan paling) empatik dalam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan Al-Qur’an itu sendiri merupakan sumber ilmu dan sumber insfirasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan sains dan teknelogi. Betapa tidak, Al-Qur’an sendiri mengandung banyak konsep-konsep sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi serta pujian terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam Q.S. Al-Mujadalah 58/11 Allah berfirman, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Selain Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi juga sangat banyak yang mendorong dan menekankan, bahkan mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Sebgaimana sabda beliau.

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة (رواه ابن عبد البر )

“Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan[6]”.

Hadits ini membrikan dorongan yang sangat kuat bagi kaum muslimin untuk belajar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, karena suatu perintah kewajiban tentunya harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya jika tidak dikerjakan. Lebih lanjut Rasulullah mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya, tanpa di batasi usia, ruang, waktu dan tempat sebagaimana sabdanya “Tuntutlah ilmu dari buayan sampai liang lahat)”. Dan “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Dorongan dari al-Qur’an dan perintah dari Rasul tersebut telah diperaktekkan oleh generasi Islam pada masa abad pertengahan (abad ke 7-13 M)[7]. Hal ini terbukti dengan banykanya ilmuan-ilmuan Muslim tampil kepentas dunia ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi, seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ikhwanusshafa, Ibn Miskwaih, Nasiruddin al-Thusi, Ibn rusyd, Imam al-Ghazali, Al-Biruni, Fakhrudin ar-Razy, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan lain-lain. Ilmu yang mereka kembangkan pun bebagai maca disiplin ilmu, bahkan meliputi segala cabang ilmu yang berkembang pada masa itu, antara lain: ilmu Filsafat, Astrnomi, Fisika, Astronomi, Astrologi, Alkemi, Kedokteran, Optik, Farmasi, Tasauf, Fiqih, Tafsir, Ilmu Kalam dan sebagainya, pada masa itu kejayaan, kemakmuran, kekuasaan dan politik berda di bawah kendali umat Islam, karena mereka meguasai sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi. Rasul pernah bersabda “Umatku akan jaya dengan ilmu dan harta”. Banyak lagi hadits-hadits beliau yang memberikan anjuran dan motivasi kepada umatnya untuk belajar menuntut ilmu, namun dalam kesempatan ini tentunya tidak dapat disebutkan semuanya.

B. SAINS DAN ILMU PENGETAHUAN

Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-Qur’an. Bahkan kata ‘ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur’an sebanyak 105 kali, tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali[8]. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”[9]. Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam Q.S Ar-Rahman: 55/33.

Hai jama''ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Q.S Ar-Rahman: 55/33).

Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet lainnya.

Kemajuan yang telah diperoleh oleh bangsa-bangsa yang maju (bangsa barat) dalam bidang ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi di abad modren ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari tradisi ilmiah yang telah dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan muslim pada abad pertengahan atau dengan kata lain ilmuan muslim banyak memberikan sumbangan kepada ilmua barat, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Badri Yatim dalam bukunya Sejarah Perdaban Islam “kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol[10]” dan ini di akui oleh sebagian mereka. Sains dan teknelogi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua sebagai bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam al-qur’an, karena jauh sebelum peristiwa penemuan-penemuan itu terjadi al-Qur’an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu, dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur’an, dimana kebenaran yang terkandung didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiyah oleh sipa pun.

C. KAREKTERISTIK SAINS ISLAM

Allah SWT. telah menganugrahkan akal kepada manusia, suatu anugrah yang sangat berharga, yang tidak diberikan kepada makhluk lain, sehingga umat manusia mampu berpikir kritis dan logis. Agama Islam datang dengan sifat kemuliaan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta menuntunnya kearah pemikiran Islam yang rahmatan lil’alamin. Artinya bahwa Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya, orang lain, masyarakat, lingkungan, agama dan bangsanya[11].

Sains Islam bukanlah suatu yang terlepas secara bebas dari norma dan etika keagamaan, tapi ia tetap dalam kendali agama, ia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam . Karena antara agama dan sains dalam Islam tidak ada pemisahan, bahkan sains Islam bertujuan untuk menghantarkan seseorang kepada pemahaman yang lebih mendalam terhadap rahasi-rahasia yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, baik ayat qauliah maupun ayat kauniah melalui pendayagunaan potensi nalar dan akal secara maksimal. Sains Islam tetap merujuk kepada sumber aslinya yakni Al-Qur’an dan Hadits, tidak hanya berpandu kepada kemampuan akal dan nalar semata, tetapi perpaduan anatara dzikir dan fikir, sebab bila hanya akal dan nalar yang menjadi rujukan, maka tidak jarang hasil temuaannya bertentangan ajaran agama atau disalah gunakan kepada hal-hal yang menyimpang dari norma-norma dan ajaran agama. Hasil penemuan tersbut bisa-bisa tidak mendatangkan manfaat tepi malah mendatangkan mafsadah, kerusakan, dan bencana di sana sini.

Karekteristik dari sains Islam adalah keterpaduan antara potensi nalar, akal dan wahyu serta dzikir dan fikir, sehingga sains yang dihasilkan ilmuan Muslim batul-betul Islami, bermakna, membawa kesejukan bagi alam semesta, artinya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bagi kepentingan umat manusia sesuai dengan misi Islam rahmatan lil’alamin. Sains Islam selalu terikat dengan nilai-nilai dan norma agama dan selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan ia membantu menghantarkan para penemunya kepada pemahaman, keyakinan yang lebih sempurna kepada kebanaran informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Allah, mengakui keagungan, kebesaran, dan kemaha kuasan-Nya.


II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM                                (1/3)
oleh KH. Ali Yafie



Hukum  yang  diperkenalkan  al-Qur'an  bukanlah  sesuatu  yang
berdiri  sendiri,  tapi merupakan bagian integral dari akidah.
Akidah  tentang   Allah   yang   menciptakan   alam   semesta,
mengaturnya,  memeliharanya  dan  menjaganya  sehingga  segala
makhluk itu menjalani kehidupannya masing-masing  dengan  baik
dan  melakukan  fungsinya  masing-masing  dengan tertib. Hukum
Allah meliputi segenap makhluk (alam semesta). [1]

Melalui suatu pengamatan yang cermat atas segala alam  sekitar
kita, dapat disaksikan betapa teraturnya alam raya ini. Betapa
teraturnya  gerakan   bintang-bintang   pada   garis   edarnya
masing-masing.  Bumi  tempat  kita  hidup  yang  berputar pada
sumbunya dan beredar  pada  orbitnya  di  sekeliling  matahari
dalam  jangka  waktu  tertentu  dan  pasti  menyebabkan  silih
bergantinya siang dan malam  dan  bertukarnya  satu  musim  ke
musim  lain  secara  teratur. Lewat ilmu pengetahuan alam kita
diperkenalkan  dengan  hukum-hukum  fisika  dan  kimia   serta
biologi,  seperti  hukum  proporsi,  hukum  konservasi,  hukum
gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal,  kode
genetik, hukum reproduksi dan embriologi. Penemuan hukum-hukum
alam (natuurwet) sebagaimana disinggung  di  atas,  memberikan
informasi yang jelas pada kita betapa alam raya ini mulai dari
bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam
inti  atom  yang  sukar  dibayangkan  kecilnya,  sampai kepada
galaksi-galaksi  yang  tak  terbayangkan  besar  dan  luasnya,
semuanya  bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang
mengaturnya. Dan yang lebih dekat kita renungkan ialah keadaan
tubuh  jasmani  kita  sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan,
tubuh  manusia  terdiri  dari  50  juta  sel,  jumlah  panjang
jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu kilometer dan lebih
dari 500 macam proses kimiawi terjadi  di  dalam  hati.  Tubuh
manusia  jauh  lebih  rumit  dan  menakjubkan daripada pesawat
komputer. Prestasi atletik  seringkali  memperlihatkan  tenaga
tubuh    yang   bersifat   melar.   Sedangkan   ketangguhannya
menunjukkan staminanya. Meskipun demikian fungsi-fungsi  tubuh
yang  tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari,
tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan
dan  tugas-tugas  lain  yang  tidak terbilang banyaknya. Pusat
pengatur tubuh, yakni  otak  memiliki  kemampuan  merekam  dan
menyimpan  lebih  banyak informasi dibandingkan dengan pesawat
apapun. [2]

Dalam hubungan ini,  dapat  kita  renungkan  salah  satu  ayat
al-Qur'an  yang  berbunyi,  Kami  akan  memperlihatkan  kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap ufuk dan pada diri
mereka  sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bakwa al-Qur'an
itu adalah benar. [3]

Pesan untuk mengamati, meneliti,  memikirkan  dan  mempelajari
alam   semesta,   sangatlah   jelas  dan  berulang-ulang  kali
disampaikan  dalam  sekian  banyaknya   ayat-ayat   al-Qur'an.
Katakanlah!  Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang
memberi  peringatan  bagi  orang-orang yang tidak beriman. [4]
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan kekuasaan langit dan
bumi   dan  segala  sesuatu  yang  diciptakan  Allah  ...  [5]
...Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan  bumi,  dan  silih
bergantinya   malam   dan   siang  terdapat  tanda-tanda  bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang  yang  mengingat
Allah  sambil  berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang Engkau  menciptakan  langit  dan
bumi   (seraya   berkata)   ya  Tuhan  kami,  tiadalah  Engkau
menciptakan  ini  dengan  sia-sia.  Maha  Suci  Engkau,   maka
peliharalah  kami  dari  siksaan  neraka.  [6] Rasulullah saw.
mengomentari ayat-ayat ini dengan  sabdanya,  Celakalah  orang
yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir. [7]

Petunjuk-petunjuk  al-Qur'an  yang  mengarahkan  manusia untuk
berfikir,  menalar,   mengamati   dan   meneliti   sebagaimana
disinggung  di  atas  yang  sifatnya global, dilengkapi dengan
petunjuk-petunjuk lain yang bersifat detail  dimana  terbayang
isyarat-isyarat yang mengacu pada pokok-pokok ilmu pengetahuan
tentang alam dan hukum-hukum yang  berlaku  atasnya.  Misalnya
ayat  yang  berbunyi, Dialah yang menjadikan matahari bersinar
dan  bulan   bercahaya,   dan   ditetapkan   manzilah-manzilah
(mansion)  bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungannya. Allah tidak  menciptakan  yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menguraikan tanda-tanda
(kekuasaannya) kepada orang-orang yang  mengetahui  (berilmu)"
[8]   ...Dan   matahari  itu  berjalan  di  tempatnya,  itulah
ketentuan dari Yang Maha Perkasa  lagi  Maha  Mengetahui.  Dan
telah  Kami  tetapkan  bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan
sehingga (setelah ia sampai ke manzilah  terakhir)  kembalilah
ia  sebagai  bentuk  tandan  yang  tua.  Tidaklah mungkin bagi
matahari mencapai bulan dan malampun  tidak  dapat  mendahului
siang.  Dan  masing-masing di dalam orbitnya pada beredar. [9]
Kedua ayat  ini  cukup  jelas  isyarat-isyaratnya  yang  dapat
ditangkap   ilmu   astronomi.   Demikian  pula  halnya  dengan
ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap  isyarat-isyarat  berbagai
ayat  al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan,
air, awan, kilat, dan tentang manusia sendiri dan  kejadiannya
serta   segala   macam   permasalahannya.   Upaya  pengamatan,
penelitian dan  penalaran  lewat  ilmu-ilmu  yang  mempelajari
perilaku  dan  sifat-sifat  makhluk-makhluk, baik berupa benda
mati maupun makhluk hidup, telah mengungkapkan banyak penemuan
yang  memperkenalkan  kepada  kita  hukum-hukum  yang  berlaku
dengan pasti atas alam ini.

Kehadiran  ayat-ayat  yang  mengandung  isyarat-isyarat   yang
mengacu  pada  pengungkapan  misteri alam, mendorong minat dan
membangkitkan semangat kaum Muslim  angkatan-angkatan  pertama
--yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an ini-- untuk terjun
menggali  ilmu  pengetahuan  yang  luas  dan  khazanah  ilmiah
bangsa-bangsa  Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di bidang
pengetahuan   filsafat   dan   alam,   sehingga   menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan  besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi,
al-Ghazali dan serentetan nama besar  yang  tidak  asing  bagi
dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di Barat.

Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum
yang mengatur segala makhluk di alam raya ini, biasanya  dalam
bahasa  ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di
dalam bahasa al-Qur'an kadangkala disebut  sunnatullah.  Salah
satu  ayatnya  mengatakan,  Maka  sekali-kali  kamu tidak akan
mendapat pergantian  bagi  sunnatullah  itu,  dan  sekali-kali
tidak  (pula)  akan menemni penyimpangan dari sunnatullah itu.
[10] Dalam terminologi teologis hal semacam itu termasuk dalam
kategori  qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi
hal-hal yang bersangkut  paut  dengan  perilaku  manusia,  dan
sering  kali  --secara  kurang  hati-hati--  dianggap  identik
dengan determinisme.

Ayat yang secara jelas  merangkaikan  sunnatullah  itu  dengan
qadar,  berbunyi  ...(Allah  telah  menetaphan  yang demikian)
sebagai sunnatullah pada mereka yang telah berlaku dahulu, dan
adalah  ketetapan  Allah  itu  suatu qadar yang pasti berlaku.
[11]

Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu dapat kita simak  dari
beberapa  ayat,  diantaranya,  Sesungguhaya  Kami  menciptakan
segala sesuatu dengan qadar.    [12]  Kata  bi  qadar  (dengan
qadar)  di  sini ditafsirkan, menurut ukuran. Isyarat yang ada
dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih jelas dengan bantuan
ilmu   fisika   yang   membahas   tentang  materi  dan  unsur.
Benda-benda  yang  ada  disekeliling  kita,   yang   merupakan
bahan-bahan  kebutuhan  dalam  hidup  kita seperti kayu, besi,
seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan, air dan sebagainya,
semuanya  itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar
dari materi-materi yang kita kenal terdiri  dari  unsur-unsur.
Tergabungnya  dua  unsur  atau lebih melalui pola persenyawaan
atau  pola  percampuran  membentuk  suatu   materi   tertentu.
Misalnya  unsur  oksigen  bergabung  dengan hidrogen membentuk
senyawa cair, dan  disebut  air.  Unsur-unsur  yang  tergabung
dalam  suatu  senyawa  selalu mempunyai proporsi tertentu. Air
murni selalu mempunyai  proporsi  oksigen  dan  hidrogen  yang
sudah  tertentu  dan  tetap,  demikian  pula  dengan  proporsi
nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam kasus-kasus seperti
ini,  unsur-unsur  telah  bergabung  membentuk  suatu senyawa,
mengikuti suatu aturan yang dikenal hakam proporsi yang  sudah
tertentu.

Isyarat  serupa  yang  kita peroleh dari informasi ilmu fisika
sebagaimana disinggung di atas, dapat  pula  kita  temui  dari
informasi  ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya,
unsur  Al  (aluminium),  jumlah  proton  yang  terkandung   di
dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah protonnya 29; unsur Au
(emas),  jumlah  protonnya  79;  unsur  Ag   (perak),   jumlah
protonnya  47;  unsur Pt (platina), jumlah protonnya 78; unsur
Ni (nikel), jumlah  protonnya  28;  unsur  Fe  (besi),  jumlah
protonnya  26;  unsur Hg (air raksa), jumlah protonnya 80; dan
seterusnya. [13]

Secara sepintas dari dua informasi  yang  disajikan  di  atas,
memperlihatkan  kepada  kita adanya kadar ukuran tertentu yang
menjadi ketentuan-ketentuan  yang  pasti  yang  dapat  diamati
dalam  diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari
hukum  yang  mengatur  dan  memelihara  alam  semesta.   Dalam
hubungan  ini  dapat  kita  hayati  ungkapan  sebuah ayat yang
berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu
dan  Dia-lah  yang  menetapkan  qadar/ukurannya  secara  pasti
serapi-rapinya. [14]

Pembahasan teologis  dalam  bidang  qada  dan  qadar  (masalah
takdir)  kurang  menyentuh  apa  yang  kami  singgung di atas.
Padahal  ayat-ayat  yang   berbicara   tentang   qudrat-iradat
Allah/kekuasaan dan keagungan Allah, sebagian besar mengaitkan
bermacam-macam fenomena alam yang dimintakan perhatian  supaya
manusia  mengamatinya  dan  melakukan penalarannya untuk dapat
membaca tulisan Ilahi yang tersirat di  dalamnya.  Juga  untuk
menemukan  sunnatullah  atau  hukum-hukum  kauniyah  yang akan
menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah. Mungkin itulah  yang
disindir  Imam  Ghazali  dengan  ungkapannya:.".. mereka tidak
mampu  membaca   tulisan   Ilahi   yang   tergurat   di   atas
lembaran-lembaran alam semesta; tulisan tanpa aksara dan bunyi
itu pasti tidak dapat diraih dengan mata telanjang, tapi harus
dengan mata hati. [15]

--------------------------------------------  (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174



Pola keberpasangan terlihat sangat indah dan teratur. Setiap kasus keberpasangan selalu melibatkan dua objek dengan sifat-sifat alami yang saling bertolak belakang. Ini hukum alam. Kalau selama ini saya bertanya, mengapa laki-laki cenderung maskulin sedangkan perempuan cenderung feminim? Atau pertanyaan, mengapa orang suka terhadap yang baik-baik sedangkan yang buruk-buruk selalu dibenci? Setidaknya hal itu telah dijawab oleh keberpasangan.
Eksistensi
Bayangkan kalau tidak ada yang namanya ‘tidak ada’, pasti sesuatu yang namanya ‘ada’ juga tak akan pernah ada, dan begitupun sebaliknya. Kalau tidak ada orang ‘jahat’, mestinya tidak ada juga orang yang disebut ‘baik’, begitu juga sebaliknya. Kalau tidak ada jenis kelamin ‘laki-laki’, tentu yang namanya ‘perempuan’ juga tak akan pernah dikenal, begitu pun sebaliknya. Semua hal akan didapatkan selalu dengan pasangannya, karena eksistensi sesuatu adalah satu-satunya pembanding dari eksistensi pasangannya. Dengan kata lain, keberpasangan akan selalu muncul sebagai kebutuhan akan pembanding keberadaan suatu objek.
Bahkan dari permulaan munculnya, ilmu pengetahuan telah sangat akrab dengan kasus-kasus keberpasangan. Dalam kelas biologi telah dikenal model materi kehidupan elementer yang penuh dengan pasangan-pasangan basa Nitrogen. Dalam kelas kimia juga telah didapatkan reaksi eksoterm dan reaksi endoterm. Dan kasus yang paling banyak ditemui adalah dalam kelas fisika: spin atas dan spin bawah, materi dan anti-materi, muatan positif dan muatan negatif, gaya tarik dan gaya tolak, gelombang dan partikel, dan sebagainya.
Dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan mengenai tafsir dari QS. 36:36. Sebagian ulama menyatakan bahwa makna ‘pasangan’ dalam ayat itu hanya berlaku pada makhluk hidup saja. Namun Dr. Quraisy Shihab tak begitu sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurutnya, pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, tidak cocok dengan maksud sekian banyak ayat Alquran, dan berbagai kenyataan ilmiah yang ditemukan dewasa ini. Dari segi bahasa, kata azwaj (pasang-pasangan) adalah bentuk jamak dari kata zauj (pasangan). Menurut pakar kebahasaan, Ar-Raghib Al-Ashfahain, kata ini digunakan untuk masing-masing dua hal yang berdampingan atau bersamaan, misalnya jantan dan betina. Kata itu juga digunakan untuk menunjuk hal yang sama bagi selain binatang, seperti alas kaki. Selanjutnya beliau menegaskan bahwa keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga karena bertolakbelakang. Ayat-ayat Alquran yang lain pun menggunakan kata tersebut dalam pengertian umum, bukan hanya untuk makhluk hidup, misalnya pada Alquran 51:49. Dari sini ada siang ada malam, senang-susah, atas-bawah, dan seterusnya. Semua hal (maksudnya makhluk) memiliki pasangannya, hanya Allah saja yang tidak berpasangan, tidak ada pula yang sama dengan Dia. Dari segi ilmiah, misalnya terbukti bahwa muatan listrik pun berpasangan: positif dan negatif. Demikian juga dengan atom, yang tadinya diduga sebagai unit terkecil dan tidak dapat dibagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari proton dan elektron.1
Premis Lugas
QS. 36:36 mengandung premis yang sangat lugas (eksplisit). Kelugasan ini menjadi penuh resiko manakala ia mencuatkan implikasi yang tidak main-main. Kalau betul-betul ada ‘sesuatu’, dalam teks dan konteks apapun, yang tidak ada pasangannya, tentu itu tidak diperbolehkan. Kalaupun itu memang ada, maka itu akan menjadi alasan yang sangat kuat untuk mencoret Alquran dari daftar kitab suci. Oleh karena itu, ayat tersebut harus memiliki implikasi ilmiah, bahwa keberpasangan adalah sifat mendasar yang melandasi semua hal di semesta. Ayat ini bisa diuji, misalnya dengan asumsi bahwa keberpasangan merupakan prinsip fundamental dalam fisika.
Suatu ketika Einstein duduk di sebuah gerbong kereta api di samping jendela. Ketika kereta mulai melaju, beliau dengan sangat meyakinkan merasakan bahwa kereta itu sedang bergerak. Di tengah-tengah perjalanan, ketika kecepatan kereta optimum tanpa akselerasi, Einstein melihat pohon-pohon di luar jendela. Beliau melihat pepohonan yang ada di samping rel seolah-olah bergerak menjauhi kereta. Andai saja gerbong yang beliau tumpangi sama sekali tertutup, dan hanya menyisakan sejumlah kecil spasi untuk jendela, tentu beliau akan kesulitan membedakan sebetulnya siapa yang sedang bergerak: kereta yang ditumpanginya atau pohon-pohon itu? Itulah fenomena relativitas.2
Fenomena relativitas telah diteliti dengan seksama oleh Newton. Mekanika yang dikembangkannya berangkat dari asumsi bahwa ruang dan waktu bersifat terpisah dan absolut—tak perlu kerangka acuan untuk mengukurnya. Einstein melihat ada kejanggalan dalam konsep Newton. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum Einstein memahami kejanggalan itu.
Dalam tahun 1905, keraguan dramatis atas keabsolutan ruang dan waktu diungkapkan Einstein. Perhitungan Einstein menjungkirbalikkan anggapan dasar tentang eksistensi ruang dan waktu. Satu hal beliau garisbawahi bahwa setiap gerak di bagian manapun di semesta ini adalah relatif. Maksudnya, pergerakan benda tidak bisa didefinisikan tanpa adanya kerangka acuan untuk mengukurnya. Misalnya perumpamaan gerbong kereta api di atas. Anda tidak akan pernah bisa membedakan sebenarnya siapa yang sedang bergerak, kereta yang Anda tumpangi atau pohon-pohon yang ada di sisi rel, seandainya saat itu Anda sedang berada di situ. Anda akan tahu yang sebenarnya terjadi kalau Anda berada di luar sistem, misalnya di sisi rel, sehingga definisi gerak kereta hanya bisa ditentukan dengan kerangka acuan itu. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa gerak benda dan kerangka acuan adalah dua hal yang niscaya berpasangan.
Perseteruan
Dalam abad 20, terjadi perseteruan hebat antara Fisika Relativitas dan Fisika Kuantum. Pada akhir Oktober 1927, atas prakarsa pengusaha sabun kaya raya, Ernst Solway, pertama kali diselenggarakan pertemuan paling penting dalam sejarah sains modern. Pertemuan ini terkenal dengan sebutan Konferensi Solway, bertempat di Hotel Metropole, Brussel, Belgia. Pertemuan pertama ini menjadi sangat terkenal lantaran terjadi perseteruan antara dua pemikir garis depan, Niels Bohr dan Albert Einstein.Perseteruan tersebut dipicu oleh pengumuman Bohr tentang tafsirannya terhadap Teori Kuantum, yang kemudian terkenal dengan sebutan Aliran Kopenhagen.
Aliran Kopenhagen memperkenalkan dua prinsip paling mendasar dalam fisika, yakni Prinsip Saling Melengkapi (dalam kaitannya dengan konsep materi) dan Prinsip Ketidakpastian (dalam kaitannya dengan konsep ruang-waktu). Masalahnya timbul manakala Einstein secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Prinsip Ketidakpastian, yang diyakini sebagai pengganti Prinsip Sebab-Akibat. Setiap jamuan teh sore hari, Einstein selalu menyerang prinsip-prinsip Bohr. Ia merancang berbagai percobaan pikiran untuk menemukan berbagai kontradiksi dalam prinsip tersebut. Namun selalu saja Bohr mampu menemukan kelemahan konsep Einstein dan mementahkannya.
Pada konferensi selanjutnya, tahun 1930, Einstein mengajukan apa yang disebutnya sebagai paradoks kotak cahaya, yang dirancang untuk menggugurkan ketidakpastian. Ia mengambarkan kotak penuh cahaya dan menganggap energi foton dan waktu pancarannya bisa ditentukan secara pasti. Waktu dan energi adalah sepasang variabel yang memenuhi Prinsip Ketidakpastian. Caranya kotak ditimbang terlebih dahulu. Dengan pengatur cahaya yang dijalankan jam di dalam kotak, satu foton dipancarkan. Lalu kotak tersebut ditimbang lagi untuk mengetahui massanya. Kalau perubahan massanya diketahui, maka energi foton dapat dihitung dengan persamaan E=mc2. Perubahan energi diketahui dengan tepat, begitu juga waktu pancaran fotonnya, sehingga gugurlah Prinsip Ketidakpastian.
Percobaan pikiran ini membuat Bohr kelimpungan. Semalam suntuk ia mencari kelemahan hujah Einstein. Pagi harinya Bohr menggambarkan kotak cahaya. Dengan gigih, ia mematahkan argumen Einstein: “Ketika foton dipancarkan terjadi sentakan yang menyebabkan ketidakpastian posisi jam dalam medan gravitasi bumi. Ini menyebabkan semacam ketidakpastian pencatatan waktu berdasarkan asumsi Teori Relativitas Umum”.
Einstein sejauh itu kalah dalam berbagai adu argumentasi dengan Bohr. Namun perseteruan berlanjut hingga tahun 1935, ketika ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di Institute for Advanced Study, Princeton. Einstein mengajukan paradoks yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Bersama dua kolega mudanya, Boris Podolsky dan Nathan Rosen, ia mengajukan masalah yang terkenal dengan sebutan Paradoks EPR (Einstein-Podolsky-Rosen) untuk meruntuhkan Prinsip Ketidakpastian.
Kalau ada sepasang partikel, misalnya A dan B, dalam keadaan tunggal atau kedua spinnya saling meniadakan (berpasangan). Keduanya bergerak saling menjauh dalam arah tertentu. Suatu ketika spin A ditemukan dalam keadaan ‘atas’. Karena kedua spin harussalingmeniadakan,makadalamarahyangsamaspin Bharusdalamkeadaan ‘bawah’. Fisika klasik sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Cukup disimpulkan bahwa spin B harus selalu ‘bawah’ sejak pemisahan. Masalahnya mulai tampak manakala Aliran Kopenhagen memperlakukan spin A selalu tak pasti sampai ia diukur dan harus mempengaruhi B seketika itu juga, yaitu mengatur agar spin B berpasangan dengannya. Ini berarti ada aksi pada jarak atau komunikasi yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, yang tidak bisa diterima. Einstein dan para koleganya mengusulkan apa yang disebut Prinsip Lokalitas sebagai jalan tengah paradoks ini, sehingga ia mengartikannya sebagai kealpaan Aliran Kopenhagen. Kalau sistem tersebut dipisahkan satu sama lain, pengukuran yang satu tentu tidak akan berpengaruh terhadap yang lain. “Jangan pernah lupakan Teori Relativitas Khusus saya: tidak ada yang lebih cepat dari cahaya”, demikian Einstein menegaskan.
Meskipun demikian, Bohr tetap tidak setuju terhadap konsep pemisahan tersebut. Ia segera mengingatkan Einstein dan semua penyokong sains bahwa mazhabnya selalu menegaskan bahwa mekanika kuantum sangat tidak memperbolehkan pemisahan antara pengamat dan yang diamati. Dua elektron dan pengamat adalah bagian dari satu sistem yang utuh. Jadi, percobaan EPR, menurut dia, tidak membuktikan ketidaklengkapan Teori Kuantum. “Sangat naif anggapan bahwa sistem atom dapat dipisah-pisah. Sekali dikaitkan, sistem atom tak akan pernah terpisahkan”, demikian Bohr menegaskan.3
Dalam pengamatan-pengamatan selanjutnya didapatkan bahwa Prinsip Ketidakpastian berlaku dalam dunia skala kecil dan dapat diabaikan dalam dunia skala besar. Sebaliknya, sebab-akibat berlaku dalam dunia skala besar dan dapat diabaikan dalam dunia skala kecil. Pola yang sangat teratur itu memperlihatkan adanya relasi keberpasangan. Bahwa sebab-akibat maupun ketidakpastian bukanlah dua hal yang saling mengalahkan satu sama lain. Mereka berlaku kedua-duanya, berdampingan, dan sederajat, sebagai sebuah keberpasangan. Alat ukur fisikawan yang tidak bisa lebih halus lagi dari gelombang elektromagnetik menyebabkan usikan-usikan terhadap objek pengamatan. Bagi objek-objek halus seperti elektron, usikan itu akan sangat mengganggu ketelitian pangukuran, sedangkan bagi objek-objek yang kasat mata seperti bola, meja, bintang, planet, dan sebagainya, usikan-usikan itu tidaklah berarti. Maka diyakini bahwa pengaruh ketidakpastian sangat kuat dalam dunia partikel subatomik dan diabaikan dalam dunia skala besar, sedangkan pengaruh sebab-akibat Newton dapat diamati dalam dunia skala besar bintang dan diabaikan pada dunia partikel subatomik.
Selain kasus-kasus di atas, mestinya masih banyak kasus keberpasangan lain dalam fisika. Kasus-kasus di atas ditemukan setelah konsep-konsepnya mapan. Kalau prosesnya diperluas, yakni mengintegrasikan keberpasangan dalam konsep-konsep yang belum mapan secara eksperimen, misalnya Teori Supersimetri dan Superstring, kita akan mendapatkan yang lebih banyak lagi. Tapi apakah kita bisa melakukannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar