AL-QUR’AN,
SAINS DAN ILMU PENGETAHUAn Oleh: Abdul Karim Lubis
(Mhs. Psca Sarjana UIN S Jakarta/Guru PAI SMA Mujahidin Pontianak)
A. AL-QUR’AN
Al-Qur’an secara ilmu kebahasaan berakar dari kata qaraa yaqrau qur’anan yang bererti “bacan atau yang dibaca”. Secara general Al-Qur’an didefenisikan sebagai sebuah kitab yang berisi himpunan kalam Allah, suatu mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantaraan malikat Jbril, ditulis dalam mushaf yang kemurniannya senantiasa terpelihara, dan membacanya merupakan amal ibadah.
Al- Qur’an adalah kitab induk, rujukan utama bagi segala rujukan, sumber dari segala sumber, basis bagi segala sains dan ilmu pengetuhan, sejauh mana keabsahan ilmu harus diukur standarnya adalah Al-Qur’an. Ia adalah buku induk ilmu pengethuan, di mana tidak ada satu perkara apapun yang terlewatkan[1], semuanya telah terkafer di dalamnya yang mengatur berbagai asfek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah (Hablum minallah); sesama manusia (Hablum minannas); alam, lingkungan, ilmu akidah, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu emperis, ilmu agama, umum dan sebgaianya.(Q.S. Al-an’am: 38). Lebih lanjut Achmad Baiquni mengatakan, “sebenarnya segala ilmu yang diperlukan manusia itu tersedia di dalam Al-Qur’an”[2].
Salah satu kemu’jizatan (keistimewaan) Al-Qur’an yang paling utama adalah hubungannya dengan sains dan ilmu pengetahuaan, begitu pentingnya sains dan ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an sehingga Allah menurunkan ayat yang pertama kali Q.S Al-‘alaq 96/1-5.
1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat tersebut di atas mengandung perintah membaca, membaca berarti berfikir secara teratur atau sitematis dalam mempelajari firman dan ciptaannya, berfikir dengan menkorelasikan antara ayat qauliah dan kauniah manusia akan mampu menmukan konsep-konsep sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan perintah yang pertama kali dititahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammada SAW. dan umat Islam sebelum perintah-perintah yang lain adalah mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan serta bagaimana cara mendapatkannya. tentunya ilmu pengetahuan diperoleh di awali dengan cara membaca, karena membaca adalah kunci dari ilmu pengetahuan, baik membaca ayat qauliah maupun ayat kauniah, sebab manusia itu lahir tidak mengethui apa-apa, pengetahuan manusia itu diperoleh melalui proses belajar dan melalui pengalaman yang dikumpulkan oleh akal serta indra pendengaran dan penglihatan[3] demi untuk mencapai kejayaan, kebahagian dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih 750[4] ayat rujukan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan sementara tidak ada agama atau kebudayaan lain yang menegaskan dengan begitu tegas akan kepentingan ilmu dalam kehidupan manusia. Ini membuktikan bahwa betapa tingginya kedudukan sains dan ilmu pengetauan dalam Al-Qur’an (Islam). Al-Qur’an selalu memerintahkan kepada manusia untuk mendayagunakan potensi akal, pengamatan , pendengaran, semaksimal mungkin[5].
Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang sangat (bahkan paling) empatik dalam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan Al-Qur’an itu sendiri merupakan sumber ilmu dan sumber insfirasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan sains dan teknelogi. Betapa tidak, Al-Qur’an sendiri mengandung banyak konsep-konsep sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi serta pujian terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam Q.S. Al-Mujadalah 58/11 Allah berfirman, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Selain Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi juga sangat banyak yang mendorong dan menekankan, bahkan mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Sebgaimana sabda beliau.
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة (رواه ابن عبد البر )
“Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan[6]”.
Hadits ini membrikan dorongan yang sangat kuat bagi kaum muslimin untuk belajar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, karena suatu perintah kewajiban tentunya harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya jika tidak dikerjakan. Lebih lanjut Rasulullah mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya, tanpa di batasi usia, ruang, waktu dan tempat sebagaimana sabdanya “Tuntutlah ilmu dari buayan sampai liang lahat)”. Dan “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Dorongan dari al-Qur’an dan perintah dari Rasul tersebut telah diperaktekkan oleh generasi Islam pada masa abad pertengahan (abad ke 7-13 M)[7]. Hal ini terbukti dengan banykanya ilmuan-ilmuan Muslim tampil kepentas dunia ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi, seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ikhwanusshafa, Ibn Miskwaih, Nasiruddin al-Thusi, Ibn rusyd, Imam al-Ghazali, Al-Biruni, Fakhrudin ar-Razy, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan lain-lain. Ilmu yang mereka kembangkan pun bebagai maca disiplin ilmu, bahkan meliputi segala cabang ilmu yang berkembang pada masa itu, antara lain: ilmu Filsafat, Astrnomi, Fisika, Astronomi, Astrologi, Alkemi, Kedokteran, Optik, Farmasi, Tasauf, Fiqih, Tafsir, Ilmu Kalam dan sebagainya, pada masa itu kejayaan, kemakmuran, kekuasaan dan politik berda di bawah kendali umat Islam, karena mereka meguasai sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi. Rasul pernah bersabda “Umatku akan jaya dengan ilmu dan harta”. Banyak lagi hadits-hadits beliau yang memberikan anjuran dan motivasi kepada umatnya untuk belajar menuntut ilmu, namun dalam kesempatan ini tentunya tidak dapat disebutkan semuanya.
B. SAINS DAN ILMU PENGETAHUAN
Sains dan ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-Qur’an. Bahkan kata ‘ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur’an sebanyak 105 kali, tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali[8]. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi. Maka dalam Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”[9]. Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknelogi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam Q.S Ar-Rahman: 55/33.
Hai jama''ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Q.S Ar-Rahman: 55/33).
Ayat di atas pada masa empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknelogi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menmbus angksa luar bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknelogi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet-pelanet lainnya.
Kemajuan yang telah diperoleh oleh bangsa-bangsa yang maju (bangsa barat) dalam bidang ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi di abad modren ini, sebenarnya merupakan kelanjutan dari tradisi ilmiah yang telah dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan muslim pada abad pertengahan atau dengan kata lain ilmuan muslim banyak memberikan sumbangan kepada ilmua barat, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Badri Yatim dalam bukunya Sejarah Perdaban Islam “kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol[10]” dan ini di akui oleh sebagian mereka. Sains dan teknelogi baik itu yang ditemukan oleh ilmuan muslim maupun oleh ilmuan barat pada masa dulu, sekarang dan yang akan datang, itu semua sebagai bukti kebenaran informasi yang terkandung di dalam al-qur’an, karena jauh sebelum peristiwa penemuan-penemuan itu terjadi al-Qur’an telah memberikan isyarat-isyarat tentang hal itu, dan ini termasuk bagian dari kemukjizatan al-Qur’an, dimana kebenaran yang terkandung didalamnya selalu terbuka untuk dikaji, didiskusikan, diteliti, diuji dan dibuktikan secara ilmiyah oleh sipa pun.
C. KAREKTERISTIK SAINS ISLAM
Allah SWT. telah menganugrahkan akal kepada manusia, suatu anugrah yang sangat berharga, yang tidak diberikan kepada makhluk lain, sehingga umat manusia mampu berpikir kritis dan logis. Agama Islam datang dengan sifat kemuliaan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta menuntunnya kearah pemikiran Islam yang rahmatan lil’alamin. Artinya bahwa Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya, orang lain, masyarakat, lingkungan, agama dan bangsanya[11].
Sains Islam bukanlah suatu yang terlepas secara bebas dari norma dan etika keagamaan, tapi ia tetap dalam kendali agama, ia tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam . Karena antara agama dan sains dalam Islam tidak ada pemisahan, bahkan sains Islam bertujuan untuk menghantarkan seseorang kepada pemahaman yang lebih mendalam terhadap rahasi-rahasia yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, baik ayat qauliah maupun ayat kauniah melalui pendayagunaan potensi nalar dan akal secara maksimal. Sains Islam tetap merujuk kepada sumber aslinya yakni Al-Qur’an dan Hadits, tidak hanya berpandu kepada kemampuan akal dan nalar semata, tetapi perpaduan anatara dzikir dan fikir, sebab bila hanya akal dan nalar yang menjadi rujukan, maka tidak jarang hasil temuaannya bertentangan ajaran agama atau disalah gunakan kepada hal-hal yang menyimpang dari norma-norma dan ajaran agama. Hasil penemuan tersbut bisa-bisa tidak mendatangkan manfaat tepi malah mendatangkan mafsadah, kerusakan, dan bencana di sana sini.
Karekteristik dari sains Islam adalah keterpaduan antara potensi nalar, akal dan wahyu serta dzikir dan fikir, sehingga sains yang dihasilkan ilmuan Muslim batul-betul Islami, bermakna, membawa kesejukan bagi alam semesta, artinya mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bagi kepentingan umat manusia sesuai dengan misi Islam rahmatan lil’alamin. Sains Islam selalu terikat dengan nilai-nilai dan norma agama dan selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan ia membantu menghantarkan para penemunya kepada pemahaman, keyakinan yang lebih sempurna kepada kebanaran informasi yang terkandung dalam ayat-ayat Allah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Allah, mengakui keagungan, kebesaran, dan kemaha kuasan-Nya.
II.8. KONSEP-KONSEP HUKUM (1/3)
oleh KH. Ali Yafie
Hukum
yang diperkenalkan al-Qur'an
bukanlah sesuatu yang
berdiri
sendiri, tapi merupakan bagian
integral dari akidah.
Akidah
tentang Allah yang
menciptakan alam semesta,
mengaturnya, memeliharanya
dan menjaganya sehingga
segala
makhluk itu menjalani kehidupannya
masing-masing dengan baik
dan
melakukan fungsinya masing-masing
dengan tertib. Hukum
Allah meliputi segenap makhluk (alam
semesta). [1]
Melalui suatu pengamatan yang cermat atas
segala alam sekitar
kita, dapat disaksikan betapa teraturnya
alam raya ini. Betapa
teraturnya
gerakan bintang-bintang pada
garis edarnya
masing-masing. Bumi
tempat kita hidup
yang berputar pada
sumbunya dan beredar pada
orbitnya di sekeliling
matahari
dalam
jangka waktu tertentu
dan pasti menyebabkan
silih
bergantinya siang dan malam dan
bertukarnya satu musim
ke
musim
lain secara teratur. Lewat ilmu pengetahuan alam kita
diperkenalkan dengan
hukum-hukum fisika dan
kimia serta
biologi,
seperti hukum proporsi,
hukum konservasi, hukum
gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas,
hukum Pascal, kode
genetik, hukum reproduksi dan embriologi.
Penemuan hukum-hukum
alam (natuurwet) sebagaimana
disinggung di atas,
memberikan
informasi yang jelas pada kita betapa alam
raya ini mulai dari
bagian-bagiannya yang terkecil seperti
partikel-partikel dalam
inti
atom yang sukar
dibayangkan kecilnya, sampai kepada
galaksi-galaksi yang
tak terbayangkan besar
dan luasnya,
semuanya
bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang
mengaturnya. Dan yang lebih dekat kita
renungkan ialah keadaan
tubuh
jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan,
tubuh
manusia terdiri dari
50 juta sel,
jumlah panjang
jaringan pembuluh darahnya sampai 100 ribu
kilometer dan lebih
dari 500 macam proses kimiawi terjadi di
dalam hati. Tubuh
manusia
jauh lebih rumit
dan menakjubkan daripada pesawat
komputer. Prestasi atletik seringkali
memperlihatkan tenaga
tubuh
yang bersifat melar.
Sedangkan ketangguhannya
menunjukkan staminanya. Meskipun demikian
fungsi-fungsi tubuh
yang
tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari,
tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan
darah kita, pencernaan
dan
tugas-tugas lain yang
tidak terbilang banyaknya. Pusat
pengatur tubuh, yakni otak memiliki kemampuan
merekam dan
menyimpan
lebih banyak informasi
dibandingkan dengan pesawat
apapun. [2]
Dalam hubungan ini, dapat
kita renungkan salah
satu ayat
al-Qur'an
yang berbunyi, Kami
akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami segenap
ufuk dan pada diri
mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bakwa al-Qur'an
itu adalah benar. [3]
Pesan untuk mengamati, meneliti, memikirkan
dan mempelajari
alam
semesta, sangatlah jelas
dan berulang-ulang kali
disampaikan
dalam sekian banyaknya
ayat-ayat al-Qur'an.
Katakanlah!
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.
Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah
dan Rasul-rasul yang
memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. [4]
... Dan apakah mereka tidak memperhatikan
kekuasaan langit dan
bumi
dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah
... [5]
...Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan
silih
bergantinya malam
dan siang terdapat
tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat
Allah
sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang Engkau menciptakan
langit dan
bumi
(seraya berkata) ya
Tuhan kami, tiadalah
Engkau
menciptakan
ini dengan sia-sia.
Maha Suci Engkau,
maka
peliharalah
kami dari siksaan
neraka. [6] Rasulullah saw.
mengomentari ayat-ayat ini dengan sabdanya,
Celakalah orang
yang membaca ayat ini lalu tidak berfikir.
[7]
Petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang
mengarahkan manusia untuk
berfikir,
menalar, mengamati dan
meneliti sebagaimana
disinggung
di atas yang
sifatnya global, dilengkapi dengan
petunjuk-petunjuk lain yang bersifat
detail dimana terbayang
isyarat-isyarat yang mengacu pada
pokok-pokok ilmu pengetahuan
tentang alam dan hukum-hukum yang berlaku
atasnya. Misalnya
ayat
yang berbunyi, Dialah yang
menjadikan matahari bersinar
dan
bulan bercahaya, dan
ditetapkan manzilah-manzilah
(mansion)
bagi peredarannya supaya kalian mengetahui bilangan
tahun-tahun dan perhitungannya. Allah
tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menguraikan tanda-tanda
(kekuasaannya) kepada orang-orang yang mengetahui
(berilmu)"
[8]
...Dan matahari itu
berjalan di tempatnya,
itulah
ketentuan dari Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. Dan
telah
Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah perjalanan
sehingga (setelah ia sampai ke
manzilah terakhir) kembalilah
ia
sebagai bentuk tandan
yang tua. Tidaklah mungkin bagi
matahari mencapai bulan dan malampun tidak
dapat mendahului
siang.
Dan masing-masing di dalam
orbitnya pada beredar. [9]
Kedua ayat
ini cukup jelas
isyarat-isyaratnya yang dapat
ditangkap
ilmu astronomi. Demikian
pula halnya dengan
ilmu-ilmu lain yang dapat menangkap isyarat-isyarat berbagai
ayat
al-Qur'an yang berbicara tentang hewan, tumbuh-tumbuhan,
air, awan, kilat, dan tentang manusia
sendiri dan kejadiannya
serta
segala macam permasalahannya. Upaya
pengamatan,
penelitian dan penalaran
lewat ilmu-ilmu yang
mempelajari
perilaku
dan sifat-sifat makhluk-makhluk, baik berupa benda
mati maupun makhluk hidup, telah
mengungkapkan banyak penemuan
yang
memperkenalkan kepada kita
hukum-hukum yang berlaku
dengan pasti atas alam ini.
Kehadiran
ayat-ayat yang mengandung
isyarat-isyarat yang
mengacu
pada pengungkapan misteri alam, mendorong minat dan
membangkitkan semangat kaum Muslim angkatan-angkatan pertama
--yang dapat menghayati ayat-ayat al-Qur'an
ini-- untuk terjun
menggali
ilmu pengetahuan yang
luas dan khazanah
ilmiah
bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Parsi, India dan Cina di
bidang
pengetahuan filsafat
dan alam, sehingga
menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi,
al-Ghazali dan serentetan nama besar yang
tidak asing bagi
dunia ilmu pengetahuan di Timur dan di
Barat.
Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan
berlaku sebagai hukum
yang mengatur segala makhluk di alam raya
ini, biasanya dalam
bahasa
ilmu-pengetahuan disebut natuurwet atau hukum alam, di
dalam bahasa al-Qur'an kadangkala
disebut sunnatullah. Salah
satu
ayatnya mengatakan, Maka
sekali-kali kamu tidak akan
mendapat pergantian bagi
sunnatullah itu, dan sekali-kali
tidak
(pula) akan menemni penyimpangan
dari sunnatullah itu.
[10] Dalam terminologi teologis hal semacam
itu termasuk dalam
kategori
qadar dan qadla, namun istilah ini lebih mendominasi
hal-hal yang bersangkut paut
dengan perilaku manusia,
dan
sering
kali --secara kurang
hati-hati-- dianggap identik
dengan determinisme.
Ayat yang secara jelas merangkaikan
sunnatullah itu dengan
qadar,
berbunyi ...(Allah telah
menetaphan yang demikian)
sebagai sunnatullah pada mereka yang telah
berlaku dahulu, dan
adalah
ketetapan Allah itu
suatu qadar yang pasti berlaku.
[11]
Penjelasan lebih jauh tentang qadar itu
dapat kita simak dari
beberapa
ayat, diantaranya, Sesungguhaya
Kami menciptakan
segala sesuatu dengan qadar. [12]
Kata bi qadar
(dengan
qadar)
di sini ditafsirkan, menurut
ukuran. Isyarat yang ada
dibalik kalimat ini dapat ditangkap lebih
jelas dengan bantuan
ilmu
fisika yang membahas
tentang materi dan
unsur.
Benda-benda
yang ada disekeliling kita,
yang merupakan
bahan-bahan
kebutuhan dalam hidup
kita seperti kayu, besi,
seng, perak, emas, hewan, tumbuh-tumbuhan,
air dan sebagainya,
semuanya
itu termasuk dalam kategori materi. Sebahagian besar
dari materi-materi yang kita kenal terdiri dari
unsur-unsur.
Tergabungnya dua
unsur atau lebih melalui pola
persenyawaan
atau
pola percampuran membentuk
suatu materi tertentu.
Misalnya
unsur oksigen bergabung
dengan hidrogen membentuk
senyawa cair, dan disebut
air. Unsur-unsur yang
tergabung
dalam
suatu senyawa selalu mempunyai proporsi tertentu. Air
murni selalu mempunyai proporsi
oksigen dan hidrogen
yang
sudah
tertentu dan tetap,
demikian pula dengan
proporsi
nitrogen dan hidrogen dalam amoniak. Dalam
kasus-kasus seperti
ini,
unsur-unsur telah bergabung
membentuk suatu senyawa,
mengikuti suatu aturan yang dikenal hakam
proporsi yang sudah
tertentu.
Isyarat
serupa yang kita peroleh dari informasi ilmu fisika
sebagaimana disinggung di atas, dapat pula
kita temui dari
informasi
ilmu kimia yang membahas unsur-unsur itu. Misalnya,
unsur
Al (aluminium), jumlah
proton yang terkandung
di
dalamnya 13; unsur Cu (tembaga), jumlah
protonnya 29; unsur Au
(emas),
jumlah protonnya 79;
unsur Ag (perak),
jumlah
protonnya
47; unsur Pt (platina), jumlah
protonnya 78; unsur
Ni (nikel), jumlah protonnya
28; unsur Fe
(besi), jumlah
protonnya
26; unsur Hg (air raksa), jumlah
protonnya 80; dan
seterusnya. [13]
Secara sepintas dari dua informasi yang
disajikan di atas,
memperlihatkan kepada
kita adanya kadar ukuran tertentu yang
menjadi ketentuan-ketentuan yang
pasti yang dapat
diamati
dalam
diri setiap makhluk. Semuanya ini merupakan bagian dari
hukum
yang mengatur dan
memelihara alam semesta.
Dalam
hubungan
ini dapat kita
hayati ungkapan sebuah ayat yang
berbunyi, ... Dan Dia (Allah) telah
menciptakan segala sesuatu
dan
Dia-lah yang menetapkan
qadar/ukurannya secara pasti
serapi-rapinya. [14]
Pembahasan teologis dalam
bidang qada dan
qadar (masalah
takdir)
kurang menyentuh apa
yang kami singgung di atas.
Padahal
ayat-ayat yang berbicara
tentang qudrat-iradat
Allah/kekuasaan dan keagungan Allah,
sebagian besar mengaitkan
bermacam-macam fenomena alam yang
dimintakan perhatian supaya
manusia
mengamatinya dan melakukan penalarannya untuk dapat
membaca tulisan Ilahi yang tersirat di dalamnya.
Juga untuk
menemukan
sunnatullah atau hukum-hukum
kauniyah yang akan
menopang tegaknya hukum-hukum syar'iyyah.
Mungkin itulah yang
disindir
Imam Ghazali dengan
ungkapannya:.".. mereka tidak
mampu
membaca tulisan Ilahi
yang tergurat di
atas
lembaran-lembaran alam semesta; tulisan
tanpa aksara dan bunyi
itu pasti tidak dapat diraih dengan mata
telanjang, tapi harus
dengan mata hati. [15]
-------------------------------------------- (bersambung 2/3)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Pola keberpasangan terlihat sangat
indah dan teratur. Setiap kasus keberpasangan selalu melibatkan dua objek
dengan sifat-sifat alami yang saling bertolak belakang. Ini hukum alam. Kalau
selama ini saya bertanya, mengapa laki-laki cenderung maskulin sedangkan
perempuan cenderung feminim? Atau pertanyaan, mengapa orang suka terhadap yang
baik-baik sedangkan yang buruk-buruk selalu dibenci? Setidaknya hal itu telah
dijawab oleh keberpasangan.
Eksistensi
Bayangkan kalau tidak ada yang namanya
‘tidak ada’, pasti sesuatu yang namanya ‘ada’ juga tak akan pernah ada, dan
begitupun sebaliknya. Kalau tidak ada orang ‘jahat’, mestinya tidak ada juga
orang yang disebut ‘baik’, begitu juga sebaliknya. Kalau tidak ada jenis
kelamin ‘laki-laki’, tentu yang namanya ‘perempuan’ juga tak akan pernah
dikenal, begitu pun sebaliknya. Semua hal akan didapatkan selalu dengan
pasangannya, karena eksistensi sesuatu adalah satu-satunya pembanding dari
eksistensi pasangannya. Dengan kata lain, keberpasangan akan selalu muncul
sebagai kebutuhan akan pembanding keberadaan suatu objek.
Bahkan dari permulaan munculnya, ilmu
pengetahuan telah sangat akrab dengan kasus-kasus keberpasangan. Dalam kelas
biologi telah dikenal model materi kehidupan elementer yang penuh dengan
pasangan-pasangan basa Nitrogen. Dalam kelas kimia juga telah didapatkan reaksi
eksoterm dan reaksi endoterm. Dan kasus yang paling banyak ditemui adalah dalam
kelas fisika: spin atas dan spin bawah, materi dan anti-materi, muatan positif
dan muatan negatif, gaya tarik dan gaya tolak, gelombang dan partikel, dan
sebagainya.
Dalam Tafsir Al-Misbah disebutkan
mengenai tafsir dari QS. 36:36. Sebagian ulama menyatakan bahwa makna
‘pasangan’ dalam ayat itu hanya berlaku pada makhluk hidup saja. Namun Dr.
Quraisy Shihab tak begitu sependapat dengan pernyataan tersebut. Menurutnya,
pendapat ini tidak sejalan dengan makna kebahasaan, tidak cocok dengan maksud
sekian banyak ayat Alquran, dan berbagai kenyataan ilmiah yang ditemukan dewasa
ini. Dari segi bahasa, kata azwaj (pasang-pasangan) adalah bentuk jamak
dari kata zauj (pasangan). Menurut pakar kebahasaan, Ar-Raghib
Al-Ashfahain, kata ini digunakan untuk masing-masing dua hal yang berdampingan
atau bersamaan, misalnya jantan dan betina. Kata itu juga digunakan untuk
menunjuk hal yang sama bagi selain binatang, seperti alas kaki. Selanjutnya beliau
menegaskan bahwa keberpasangan tersebut bisa akibat kesamaan dan bisa juga
karena bertolakbelakang. Ayat-ayat Alquran yang lain pun menggunakan kata
tersebut dalam pengertian umum, bukan hanya untuk makhluk hidup, misalnya pada
Alquran 51:49. Dari sini ada siang ada malam, senang-susah, atas-bawah, dan
seterusnya. Semua hal (maksudnya makhluk) memiliki pasangannya, hanya Allah
saja yang tidak berpasangan, tidak ada pula yang sama dengan Dia. Dari segi
ilmiah, misalnya terbukti bahwa muatan listrik pun berpasangan: positif dan
negatif. Demikian juga dengan atom, yang tadinya diduga sebagai unit terkecil
dan tidak dapat dibagi, ternyata ia pun berpasangan. Atom terdiri dari proton
dan elektron.1
Premis Lugas
QS. 36:36 mengandung premis yang sangat
lugas (eksplisit). Kelugasan ini menjadi penuh resiko manakala ia mencuatkan
implikasi yang tidak main-main. Kalau betul-betul ada ‘sesuatu’, dalam teks dan
konteks apapun, yang tidak ada pasangannya, tentu itu tidak diperbolehkan.
Kalaupun itu memang ada, maka itu akan menjadi alasan yang sangat kuat untuk
mencoret Alquran dari daftar kitab suci. Oleh karena itu, ayat tersebut harus
memiliki implikasi ilmiah, bahwa keberpasangan adalah sifat mendasar yang
melandasi semua hal di semesta. Ayat ini bisa diuji, misalnya dengan asumsi
bahwa keberpasangan merupakan prinsip fundamental dalam fisika.
Suatu ketika Einstein duduk di sebuah
gerbong kereta api di samping jendela. Ketika kereta mulai melaju, beliau
dengan sangat meyakinkan merasakan bahwa kereta itu sedang bergerak. Di
tengah-tengah perjalanan, ketika kecepatan kereta optimum tanpa akselerasi,
Einstein melihat pohon-pohon di luar jendela. Beliau melihat pepohonan yang ada
di samping rel seolah-olah bergerak menjauhi kereta. Andai saja gerbong yang
beliau tumpangi sama sekali tertutup, dan hanya menyisakan sejumlah kecil spasi
untuk jendela, tentu beliau akan kesulitan membedakan sebetulnya siapa yang
sedang bergerak: kereta yang ditumpanginya atau pohon-pohon itu? Itulah
fenomena relativitas.2
Fenomena relativitas telah diteliti
dengan seksama oleh Newton. Mekanika yang dikembangkannya berangkat dari asumsi
bahwa ruang dan waktu bersifat terpisah dan absolut—tak perlu kerangka acuan
untuk mengukurnya. Einstein melihat ada kejanggalan dalam konsep Newton. Butuh
waktu bertahun-tahun sebelum Einstein memahami kejanggalan itu.
Dalam tahun 1905, keraguan dramatis
atas keabsolutan ruang dan waktu diungkapkan Einstein. Perhitungan Einstein
menjungkirbalikkan anggapan dasar tentang eksistensi ruang dan waktu. Satu hal
beliau garisbawahi bahwa setiap gerak di bagian manapun di semesta ini adalah
relatif. Maksudnya, pergerakan benda tidak bisa didefinisikan tanpa adanya
kerangka acuan untuk mengukurnya. Misalnya perumpamaan gerbong kereta api di
atas. Anda tidak akan pernah bisa membedakan sebenarnya siapa yang sedang
bergerak, kereta yang Anda tumpangi atau pohon-pohon yang ada di sisi rel,
seandainya saat itu Anda sedang berada di situ. Anda akan tahu yang sebenarnya
terjadi kalau Anda berada di luar sistem, misalnya di sisi rel, sehingga
definisi gerak kereta hanya bisa ditentukan dengan kerangka acuan itu. Dengan
demikian, kita bisa mengatakan bahwa gerak benda dan kerangka acuan adalah dua
hal yang niscaya berpasangan.
Perseteruan
Dalam
abad 20, terjadi perseteruan hebat antara Fisika Relativitas dan Fisika
Kuantum. Pada akhir Oktober 1927, atas prakarsa pengusaha sabun
kaya raya, Ernst Solway, pertama kali diselenggarakan pertemuan paling penting
dalam sejarah sains modern. Pertemuan ini terkenal dengan sebutan Konferensi
Solway, bertempat di Hotel Metropole, Brussel, Belgia. Pertemuan pertama ini
menjadi sangat terkenal lantaran terjadi perseteruan antara dua pemikir garis
depan, Niels Bohr dan Albert Einstein.Perseteruan tersebut dipicu oleh
pengumuman Bohr tentang tafsirannya terhadap Teori Kuantum, yang kemudian
terkenal dengan sebutan Aliran Kopenhagen.
Aliran Kopenhagen memperkenalkan dua
prinsip paling mendasar dalam fisika, yakni Prinsip Saling Melengkapi (dalam
kaitannya dengan konsep materi) dan Prinsip Ketidakpastian (dalam kaitannya
dengan konsep ruang-waktu). Masalahnya timbul manakala Einstein secara terbuka
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Prinsip Ketidakpastian, yang diyakini
sebagai pengganti Prinsip Sebab-Akibat. Setiap jamuan teh sore hari, Einstein
selalu menyerang prinsip-prinsip Bohr. Ia merancang berbagai percobaan pikiran
untuk menemukan berbagai kontradiksi dalam prinsip tersebut. Namun selalu saja
Bohr mampu menemukan kelemahan konsep Einstein dan mementahkannya.
Pada konferensi selanjutnya, tahun
1930, Einstein mengajukan apa yang disebutnya sebagai paradoks kotak cahaya,
yang dirancang untuk menggugurkan ketidakpastian. Ia mengambarkan kotak penuh
cahaya dan menganggap energi foton dan waktu pancarannya bisa ditentukan secara
pasti. Waktu dan energi adalah sepasang variabel yang memenuhi Prinsip
Ketidakpastian. Caranya kotak ditimbang terlebih dahulu. Dengan pengatur cahaya
yang dijalankan jam di dalam kotak, satu foton dipancarkan. Lalu kotak tersebut
ditimbang lagi untuk mengetahui massanya. Kalau perubahan massanya diketahui,
maka energi foton dapat dihitung dengan persamaan E=mc2. Perubahan
energi diketahui dengan tepat, begitu juga waktu pancaran fotonnya, sehingga
gugurlah Prinsip Ketidakpastian.
Percobaan pikiran ini membuat Bohr
kelimpungan. Semalam suntuk ia mencari kelemahan hujah Einstein. Pagi harinya
Bohr menggambarkan kotak cahaya. Dengan gigih, ia mematahkan argumen Einstein:
“Ketika foton dipancarkan terjadi sentakan yang menyebabkan ketidakpastian
posisi jam dalam medan gravitasi bumi. Ini menyebabkan semacam ketidakpastian
pencatatan waktu berdasarkan asumsi Teori Relativitas Umum”.
Einstein sejauh itu kalah dalam
berbagai adu argumentasi dengan Bohr. Namun perseteruan berlanjut hingga tahun
1935, ketika ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di Institute
for Advanced Study, Princeton. Einstein mengajukan paradoks yang sampai
sekarang masih diperdebatkan. Bersama dua kolega mudanya, Boris Podolsky dan
Nathan Rosen, ia mengajukan masalah yang terkenal dengan sebutan Paradoks EPR
(Einstein-Podolsky-Rosen) untuk meruntuhkan Prinsip Ketidakpastian.
Kalau ada sepasang partikel, misalnya A
dan B, dalam keadaan tunggal atau kedua spinnya saling meniadakan
(berpasangan). Keduanya bergerak saling menjauh dalam arah tertentu. Suatu
ketika spin A ditemukan dalam keadaan ‘atas’. Karena kedua spin
harussalingmeniadakan,makadalamarahyangsamaspin Bharusdalamkeadaan ‘bawah’.
Fisika klasik sama sekali tidak mempersoalkan hal ini. Cukup disimpulkan bahwa
spin B harus selalu ‘bawah’ sejak pemisahan. Masalahnya mulai tampak manakala
Aliran Kopenhagen memperlakukan spin A selalu tak pasti sampai ia diukur dan
harus mempengaruhi B seketika itu juga, yaitu mengatur agar spin B berpasangan dengannya.
Ini berarti ada aksi pada jarak atau komunikasi yang lebih cepat dari kecepatan
cahaya, yang tidak bisa diterima. Einstein dan para koleganya mengusulkan apa
yang disebut Prinsip Lokalitas sebagai jalan tengah paradoks ini, sehingga ia
mengartikannya sebagai kealpaan Aliran Kopenhagen. Kalau sistem tersebut
dipisahkan satu sama lain, pengukuran yang satu tentu tidak akan berpengaruh
terhadap yang lain. “Jangan pernah lupakan Teori Relativitas Khusus saya: tidak
ada yang lebih cepat dari cahaya”, demikian Einstein menegaskan.
Meskipun demikian, Bohr tetap tidak
setuju terhadap konsep pemisahan tersebut. Ia segera mengingatkan Einstein dan
semua penyokong sains bahwa mazhabnya selalu menegaskan bahwa mekanika kuantum
sangat tidak memperbolehkan pemisahan antara pengamat dan yang diamati. Dua
elektron dan pengamat adalah bagian dari satu sistem yang utuh. Jadi, percobaan
EPR, menurut dia, tidak membuktikan ketidaklengkapan Teori Kuantum. “Sangat
naif anggapan bahwa sistem atom dapat dipisah-pisah. Sekali dikaitkan, sistem
atom tak akan pernah terpisahkan”, demikian Bohr menegaskan.3
Dalam
pengamatan-pengamatan selanjutnya didapatkan bahwa Prinsip Ketidakpastian
berlaku dalam dunia skala kecil dan dapat diabaikan dalam dunia skala besar.
Sebaliknya, sebab-akibat berlaku dalam dunia skala besar dan dapat diabaikan
dalam dunia skala kecil. Pola yang sangat teratur itu memperlihatkan adanya
relasi keberpasangan. Bahwa sebab-akibat maupun ketidakpastian bukanlah dua hal
yang saling mengalahkan satu sama lain. Mereka berlaku kedua-duanya,
berdampingan, dan sederajat, sebagai sebuah keberpasangan. Alat ukur fisikawan
yang tidak bisa lebih halus lagi dari gelombang elektromagnetik menyebabkan
usikan-usikan terhadap objek pengamatan. Bagi objek-objek halus seperti elektron,
usikan itu akan sangat mengganggu ketelitian pangukuran, sedangkan bagi
objek-objek yang kasat mata seperti bola, meja, bintang, planet, dan
sebagainya, usikan-usikan itu tidaklah berarti. Maka diyakini bahwa pengaruh
ketidakpastian sangat kuat dalam dunia partikel subatomik dan diabaikan dalam
dunia skala besar, sedangkan pengaruh sebab-akibat Newton dapat diamati dalam
dunia skala besar bintang dan diabaikan pada dunia partikel subatomik.
Selain
kasus-kasus di atas, mestinya masih banyak kasus keberpasangan lain dalam
fisika. Kasus-kasus di atas ditemukan setelah konsep-konsepnya mapan. Kalau
prosesnya diperluas, yakni mengintegrasikan keberpasangan dalam konsep-konsep
yang belum mapan secara eksperimen, misalnya Teori Supersimetri dan Superstring,
kita akan mendapatkan yang lebih banyak lagi. Tapi apakah kita bisa
melakukannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar